Akselerasi BUMN Dalam Implementasi Energi Hijau
BUMNINC.COM I Komitmen Indonesia dalam akselerasi implementasi energi hijau berbasis energi baru terbarukan (EBT) telah disampaikan secara gambling pada G20 Summit di Bali pada November 2022. Pada forum ini telah disepakati skema pendanaan transisi energi yang disebut Just Energy Transition Partnership atau JETP. Disini telah ditetapkan target nilai investasi 20 miliar dollar AS yang setara dengan Rp 300 triliun.
JETP akan dimanfaatkan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di teknologi dan industri energi terbarukan. Namun demikian, catatan penting terkait prinsip-prinsip yang mendasari perumusan skema JETP agar tidak menjadi pembenaran rencana negara untuk tetap bergantung pada pembangkit berbahan bakar batu bara.
Biaya transisi energi ini memerlukan dana yang besar. Sebagai contoh, untuk memensiunkan dini PLTU batubara saja, dibutuhkan dana sekitar US$ 400 juta – US$ 500 juta per gigawatt (GW). Jumlah itu setara Rp 6,2 triliun – Rp 7,8 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.700 per dolar AS. Dengan estimasi itu, jika ingin memensiunkan 40 GW – 50 GW PLTU di Pulau Jawa, maka diperlukan dana sekitar US$ 20 miliar atau Rp 314 triliun.
Dalam evaluasi atas implementasi energi hijau ini, Menko Marinves, Luhut Panjaitan pada Mei 2023 menyatakan bahwa progress berjalan lambat. Komitmen negara besar seperti Amaerika Serikat untuk implementasi JETP relative rendah. Sampai saat ini belum ada kesepakatan terkait pendanaan dalam JETP yang sudah bisa diimplementasikan.
Situasi mandek seperti ini memang patut disesalkan. Keinginan negara emerging market seperti Indonesia dalam percepatan energi hijau menjadi terhambat. Memang tidak bisa dipungkiri dibutuhkan dana sangat besar untuk proyek strategis ini. Perlu inisiatif lainnya untuk mendorong supaya hal tersebut bisa segera direalisir.
BUMN sebagai salah satu lokomotif ekonomi nasional bisa mengambil inisiatif untuk segera melakukan langkah akselerasi implementasi energi hijau. Misalnya Perusahaan Listrik Negara. Sebagai perusahaan penyedia energi, target dekarbonisasi mesti beriringan dengan mengamankan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. PLN sudah menyatakan bahwa prinsip keterjangkauan (affordable) juga menjadi unsur krusial dalam transisi energi. Kalau yang “green” itu terlalu mahal, konsumsi masyarakat akan tetap ke yang lebih murah. Jadi ketersediaan affordable tak bisa diabaikan.
Beberapa perusahaan milik negara adalah penghasil energi baru terbarukan seperti tenaga panas bumi (geothermal), tenaga air (hydropower), tenaga surya, biomassa dan biofuel. Potensinya besar bisa mencapai 437 giga watt (GW). Dari sisi panas bumi saja berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Tanah Air mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat (AS).
Salah satu perusahaan milik negara tersebut adalaj PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Perusahaan yang sukses menjalankan proses go public pada Februari 2023 ini berusaha meningkatkan kapasitasnya untuk produksi energi yang dibutuhkan wilayah layanannya. Pembangkit mereka tersebar di Jawa, Sumatra dan Sulawesi.
PGEO sebagai Anak usaha Pertamina, mencatat kinerja positif pada 2022. Emiten sektor panas bumi itu mencatatkan kenaikan laba bersih perusahaan sebesar 49,7% dibanding tahun 2021. Perusahaan mencatat laba bersih 2022 senilai US$ 127,3 juta (Rp 1,91 triliun) yang naik signifikan dari pencapaian 2021 senilai US$ 85 juta (Rp 1,27 triliun).
Sebagai bagian dari upaya PGEO untuk meningkatkan kapasitas terpasang sebesar 600 MW pada tahun 2027, saat ini PGEO sedang membangun PLTP Lumut Balai Unit 2 dengan kapasitas sebesar 55 MW yang direncanakan akan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date) pada akhir 2024. Selain itu, PGEO sudah menyelesaikan Front End Engineering Design (FEED) untuk fasilitas Fluid Collection and Reinjection System (FCRS). Tahap ini merupakan bagian dari proyek pembangunan PLTP Hulu Lais Unit 1 dan 2 dengan kapasitas terpasang sebesar 2 x 55 MW yang diharapkan beroperasi secara komersial (Comercial Operation Date) pada tahun 2026.
Disamping itu PGEO juga akan fokus optimalisasi aset panas bumi, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas produksi melalui metode co-generation technology dengan memanfaatkan air panas (brine) yang ada untuk membangkitkan tenaga listrik. Teknologi ini sudah diimplementasikan pada PLTP Lahendong dengan memanfaatkan brine sisa produksi uap sebesar 700 KW.
Langkah besar PGEO ini tentu memerlukan dana investasi besar . Rencana investasi (capex) perusahaan dialokasikan sampai dengan US$ 1,6 milyar sampai 5 tahun ke depan . Rencana realisasi capex di 2023 sendiri sebesar US$ 250 juta . Sebagian pendanaan akan menggunakan dana hasil IPO yang berhasil meraup dana masyarakat sebesar lebih dari 9 trilyun rupiah.
Langkah progresif PGEO tentu menjadi angin segar bagi percepatan energi hijau di Indonesia . Adanya kesulitan pendanaan internasional terkait program JETP bisa diselesaikan secara bertahap oleh inisitaif seperti yang dikerjakan PGEO. Diharapkan inisiatif ini bisa diikuti oleh perusahaan penghasil EBT lainnya sehingga kemandirian implementasi energi hijau bisa terwujud.
Toto Pranoto – Dewan Pakar BUMNINC