Cara Pedagang Batik Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
BUMINC.COM I Kondisi lesunya daya beli masyarakat di tengah pelambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, menjadi keluhan para pedagang batik Pekalongan.
Misalnya H. Saefuddin, seorang pedagang batik di pusat perbelanjaan Pasar Grosir Setono, Pekalongan mengaku tidak pernah penjualannya sesepi ini dalam jangka waktu cukup lama. Ia bingung dan bertanya-tanya apakah masyarakat mengerem belanjanya termasuk belanja batik.
“Sebelum corona ini pengunjung yang memakai mobil saja bisa 50-60 mobil. Belum lagi ada bis travel yang suka belanja. Sekarang paling banyak juga 10 mobil,” ujar pria yang akrab disapa Haji Udin itu kepada Bumninc.com, Senin (17/5/21).
Haji Udin mengatakan turunnya penjualan sudah dirasakan sejak April tahun lalu. Penjualan batik sempat membaik jelang Idul Fitri namun semakin surut pasca Lebaran 2020.
“Bahkan saya sebulan itu hanya dapat Rp 3 juta sebulan dari tiga kios di pasar. Padahal omsetnya bisa puluhan juta perbulan di saat sebelum masa corona” ungkapnya.
Apalagi, di tengah pelarangan mudik Idul Fitri 2021 ini, Haji Udin pun turut merasakan dampaknya.
“Biasanya ke saya bis itu travel datang. Wisatawan lokal, dari Semarang, orang-orang yang mau ke Jawa Timur. Kebanyakan orang-orang Pekalongan yang untuk oleh-oleh ke tempat kerjanya. Sekarang gak ada,” ucapnya.
Haji Udin sudah berdagang batik sejak awal tahun 2000-an di Pasar Setono yang saat ini dihuni 500 kios batik. Awalnya, ia menjual batik tulis yang dibanderol ratusan hingga jutaan rupiah disamping batik cap. Namun, seiring dengan perubahan zaman, dia hanya menjual batik cap saja. Sebab, kata dia, batik cap yang paling laku keras meski marjin keuntungannya kecil.
“Sekarang di masa pandemi yang paling laku daster. Dijual 100 ribu 4 biji atau 3. Paling murah Rp 25 ribu,” tutur Haji Udin.