FENOMENA STRONG DOLLAR DAN ANTISIPASI KORPORASI
BUMNINC.COM I Kondisi ekonomi dunia saat ini sedang bergejolak menuju resesi. Indikator makro ekonomi sudah bergerak menuju situasi ekonomi tersebut. Laporan Nikkei Asia akhir minggu lalu menunjukkan penurunan nilai tukar beberapa currencies di Asia terhadap US dollar dimulai sejak akhir Maret 2022 dengan rata-rata terdepresiasi sekitar 10 persen.
Mata uang Korea Won misalnya sudah terdepresiasi hampir 17 persen dalam tujuh bulan terahir. Sementara Peso Philipina mengalami depresiasi sekitar 12 persen. Rupee India terdepresiasi hampir 10 persen. Tekanan ini datangnya tentu dari beberapa sisi, misalnya dari deficit neraca dagang atau juga karena tumpukan hutang dalam hard currency terutama US dollar. Total hutang Korsel , India dan Philipina misalnya hampir 70 persen dalam currency tersebut.
Problem financing dengan cara ini adalah saat mereka mendapatkan hutang tersebut kemudian dikonversi ke mata uang lokal untuk berbagai kebutuhan. Dan saat mereka harus kembalikan hutangnya dengan kondisi local currency yang terdepresiasi maka butuh jumlah uang lebih banyak untuk kembalikan pinjaman.
Instrumen paling sederhana untuk menjaga nilai tukar debitur tentu kalau bisa melaksanakan natural hedging. Instrumen lain tentu dengan dengan berbagai fasilitas hedging lainnya yang tersedia di market.
Masalahnya biaya hedging tersebut menjadi mahal saat ekonomi bergejolak. Misalnya credit default swap untuk obligasi pemerintah milik Philipina dan Indonesia di angka 1.3% dan 1.4% , rekor angka tertinggi dalam dua setengah tahun terakhir.
Demikian pula negara adidaya seperti China juga mulai antisipasi melemahnya Yuan terhadap dollar. Beberapa korporasi besar mulai melakukan hedging secara signifikan. Data Bank Sentral China yang dikutip Nikkei menunjukkan sekitar US$ 775.8 miliar hutang korporasi China yang dilakukan proses hedging, naik 29 persen dari tahun lalu .
Depresiasi mata uang local mustinya bisa meningkatkan nilai ekspor negara . Namun karena negara tujuan ekspor juga sedang menaikan tingkat suku bunga , maka ekonomi melesu dan permintaan impor menurun. Akibatnya ekonomi memang bisa masuk jurang resesi.
Bagaimana pengaruh strong dollar terhadap korporasi Indonesia ? Kelangkaan dollar jelas sudah terjadi dan Rupiah mengalami depresiasi . Korporasi dengan beban hutang hard currency tentu sangat terdampak . Seperti diberitakan oleh Kontan misalnya, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) rating utang jangka panjangnya dipangkas oleh Fitch Rating Indonesia menjadi CC dari sebelumnya B- . Peringkat CC menunjukkan adanya potensi KIJA gagal bayar utang.
Bagaimana utang luar negri BUMN ? Berdasarkan data dari Kata Data Utang luar negeri (ULN) milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami peningkatan selama pandemi virus corona Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020. Bahkan, ULN BUMN mencapai US$ 60,28 miliar atau setara Rp 873,8 triliun (kurs Rp 14.469/US$) pada Juni 2021.
Jika dibandingkan dengan posisi akhir 2020 (year to date/ytd), maka ULN BUMN mengalami kenaikan 5,54%. Sedangkan dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi corona pada Desember 2019, ULN BUMN meningkat 16,57%. Secara rinci, ULN BUMN terdiri dari utang lembaga keuangan dan perusahaan bukan lembaga keuangan. ULN BUMN dari lembaga keuangan tercatat sebesar US$ 12,62 miliar. Kemudian, ULN BUMN yang berasal dari perusahaan bukan lembaga keuangan mencapai US$ 47,66 miliar. Jumlah itu setara dengan 23% dari total ULN swasta yang mencapai US$ 207,21 miliar.
Situasi ini memang menjadi beban berat bagi perusahaan negara yang memiliki kewajiban dalam hard currency tersebut. Apabila misalnya hutang luar negri tadi digunakan untuk belanja capex dengan prudent mungkin efek nya akan sebatas risiko depresiasi rupiah. Namun apabila kemudian dibelanjakan untuk capex secara tidak prudent maka efeknya bisa ganda , kerugian investasi capex plus naiknya beban utang yang harus dibayarkan.
Kita berharap resesi tidak sepenuhnya akan mencengkram Indonesia pada 2023. Beberapa pihak masih optimist bahwa pertumbuhan ekonomi bisa pada kisaran 4%-5% . Tentu pendorongnya harga komoditas yang akan tetap tinggi bisa menjadi motor devisa negara. Disamping secara statistic tingkat ekspor Indonesia secara rata-rata hanya menyumbang 25 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi faktor demand dalam negri sangat berperan signifikan saat ekonomi global sedang lesu.
Toto Pranoto _ Dewan Pakar BUMNINC