Prospek dan Tantangan Indonesia Battery Corporation
BUMNINC.COM I Penghujung minggu lalu (26/3/21) akhirnya Pemerintah mengumumkan pembentukan Indonesia Battery Corporation (ABC) sebagai produsen baterai listrik nasional. Empat perusahaan plat merah yaitu Inalum, ANTM (anak perusahaan MIND ID), Pertamina dan PLN menjadi pemegang saham perusahaan baru tersebut dengan komposisi kepemilikan saham yang sama.
Menteri BUMN menyatakan bahwa pembentukan perusahaan ini dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dalam industri pertambangan dan energi, terutama nikel yang menjadi bahan utama baterai listrik, mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik, dan memberikan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan.
Mengapa industri baterai nasional ini penting? Seperti diketahui bahwa tren dunia dalam utilisasi energi hijau berbasis reneable energy semakin kuat. Energi berbasis fosil akan semakin ditinggalkan. Industri sudah merespon situasi tersebut dengan merubah haluan penggunaan energi tersebut dimana listrik menjadi salah satu andalannya. Termasuk dalam hal ini pergeseran tren industry otomotif berpindah ke electric vehicle (EV)
Salah satu instrumen penting EV adalah baterai listrik. Komponen utama dalam pembentukan baterai listrik adalah nikel, kobalt, alumunium, tembaga dan mangan. Indonesia sangat kaya dengan mineral tersebut terutama nikel. Menurut data Mineral Commodity Summaries 2019 dari United State of Geological Survei (USGS) tahun 2019, Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia yaitu sebesar 21 juta ton nikel ekivalen pada 2018. Sejak tahun 2019 pemerintah sudah mengeluarkan regulasi melarang ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah.
Baterai merupakan komponen kunci untuk kendaraan listrik. Mobil listrik menggunakan baterai lithium ion dengan lithium nikel, kobalt, mangan dan alumunium digunakan sebagai bahan baku material katoda serta grafit sebagai material anodanya. Baterai listrik ini berkontribusi sekitar 35-40% dari harga mobil listrik pada saat ini. Komponen biaya terbesar untuk pembuatan baterai mobil listrik adalah biaya materialnya yang mencapai kurang lebih 60% dari total biaya pembuatan baterai. Karenanya posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia menjadi sangat strategis.
BUMN produsen baterai listrik yang baru didirikan diharapkan dapat beroperasi dalam keseluruhan ekosistem industri. Rantai nilai yang akan di-cover mulai dari nickel processing, precursor materials, cathodes, battery cells and packs, energy storage systems sampai dengan recycling. Perusahaan ini akan bekerjasama dengan global player yang sudah eksis di industry ini seperti Contemporary Amperex Technology (CATL) dari China dan LG Petrochem. Sudah ada komitmen investasi dari CATL sebesar $ 5.2 miliar dan LG Petrochem sebesar $ 9.8 miliar Diharapkan pembagunan pabrik EV ini akan selesai di 2025.
Seberapa jauh kredibilitas calon mitra bisnis? Contemporary Amperex Technology (CATL) adalah produsen terbesar baterai listrik di dunia untuk EV. Kapasitas perusahaan mampu berproduksi sampai dengan 336 gigawatt pada 2023. Hal ini bisa dicapai setelah perluasan pabrik dengan investasi senilai $4.49 milyar di 2020. Perusahaan ini juga baru saja menginvestasikan $270 juta untuk pembangunan pabrik mereka di Erfuhrt Jerman bagian timur dan dukungan dana dari BMW senilai empat miliar Euro.
CATL telah diminta para produsen otomotif Eropa seperti BMW, Mercedez, Audi untuk membangun fasilitas pabrik bateri listrik disana dalam rangka menurunkan biaya produksi. Demikian pula LG Petrochem adalah pemain terbesar nomor dua di dunia untuk baterai listrik.
Ambisi pembangunan pabrik baterai listrik ini tentu bukan perkara mudah. Selain ketergantungan pada FDI yang tinggi, Indonesia juga masih tertinggal dalam teknologi untuk memproses bahan tambang menjadi baterai secara efisien. Karenanya dibutuhkan juga proses alih transfer teknologi dari mitra asing ini sehingga Indonesia bisa lebih mandiri di masa depan.
Mungkin bagus juga kalau Indonesia bisa meniru strategi China dalam proses alih teknologi ini. Seperti diketahui bahwa Tesla telah membuka fasilitas pabrik EV di Shanghai sejak akhir 2019. Tesla memutuskan mendirikan pabrik di China karena adanya regulasi di China yang memungkinkan investor masuk untuk membangun seutuhnya EV tanpa perlu adanya ketentuan buat alih teknologi dan lain-lain. China membuat regulasi tersebut dalam rangka meningkatkan daya saing industri lokal EV karena mereka yakin Tesla akan melakukan subcontracting atas berbagai kebutuhan supply chain industrinya.
Diharapkan hal ini akan meningkatkan competencies industri lokal dan saatnya nanti akan meningkatkan daya saing EV China. Jadi dalam jangka pendek mungkin pemain lokal seperti Nio, WM Motor, Li Auto, Xpeng Motors, BYD akan mengalami fase suffering, namun dalam jangka panjang mereka akan menikmati keunggulan kompetitif. Strategi ini sudah berhasil saat China mengembangkan industri smartphone, dimana keberhasilan raksasa seperti Xiaomi, Huawei mengejar Apple dengan menerapkan strategi seperti itu.
Apabila pembangunan industri ini berjalan lancar maka diharapkan pada tahun 2030 industri baterai nasional sudah bisa menghasilkan economic value sebesar $ 26 miliar bagi Indonesia. Sementara tenaga kerja yang diserap bisa mencapai 23.500 orang. Aktivitas di industri ini juga diperkirakan akan meningkatkan ekspor barang jadi dan menurunkan impor intermediate products.
Langkah selanjutnya setelah proses penguasaan baterai listrik bisa diselesaikan tentu kita juga berharap bahwa pembagunan industri mobil listrik bisa direlokasi ke Indonesia. Tentu kita optimis karena pasar mobil Indonesia dengan penjualan lebih dari satu juta unit di 2019 adalah pasar nomor dua di ASEAN setelah Thailand. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia dan pembangunan pabrik baterai listrik li-ion maka Indonesia punya potensi sebagai production hub untuk mobil listrik.
Hyundai telah menyatakan ketertarikan untuk investasi EV di Indonesia dan meyatakan komitmen investasi sebesar $ 1.55 milyar sampai dengan 2030. Hyundai bisa menjadikan Indonesia sebagai basis bagi produksi EV untuk market ASEAN dan regional lainnya. Posisi ini penting bagi Indonesia setelah manufaktur otomotif Jepang seperti Toyota, Nissan lebih memprioritaskan Thailand sebagai basis bagi produksi EV nya.
Seluruh proses pembangunan ekosistem di industry EV ini tentu cukup kompleks dan butuh dukungan seluruh komponen bangsa. Kolaborasi triple helix yang melibatkan pemerintah, dunia usaha dan perguruan tinggi saja mungkin sudah tidak memadai, sehingga harus melibatkan masyarakat dan media masa sebagai komponen penting lainnya (penta helix).
Beberapa komponen penting harus diprioritaskan, misal : roadmap pengembangan bisnis ini harus clear dan comprehensive; dana riset pemerintah dan dunia usaha yang relatif kecil harus ditingkatkan signifikan ; regulasi yang sudah diatur dengan omnibus law harus dikawal baik, sehingga tingkat kepercayaan investor bisa ditingkatkan.
Kita berharap pengembangan EV di Indonesia ini berjalan lancar dan dapat menjadi salah satu motor baru pengembangan ekonomi nasional pasca pandemi Semoga.
Toto Pranoto (Dewan Pakar BUMNINC.COM)[]