Cara Pedagang Batik Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
Kondisi yang tak jauh berbeda pun dialami oleh pedagang batik yang juga asal Pekalongan, Bambang Wijanarnko. Menurutnya, pedagang batik saat ini hanya mengandalkan pengunjung lokal dan pesanan melalui online, walaupun tidak sebesar jika offline dua tahun sebelumnya.
Karena sepi ini juga tidak sedikit pedagang menghemat tenaga, untuk menutup kiosnya. Biasanya, pedagang yang memiliki kios lebih dari dua, akan menutup satu kiosnya untuk menghemat. Namun jika ramai, pemilik kios biasanya akan membuka toko mereka, terutama saat puncak arus balik. Di saat puncak arus balik, biasanya akan ramai para pengunjung.
“Omzet jualan para pedagang, rata-rata turun hingga mencapai 70 -80 persen. Namun, diakuinya sebelum ini, di awal bulan puasa, penjualan agak mendingan, sebelum diberlakukan larangan mudik,” ujar Ketua Jaringan Saudagar Muhammadiyah tersebut, Selasa (11/5/21).
Selama pandemi Covid-19 ini, Bambang mengaku telah menutup 3 kiosnya yang berada di Jakarta. Ia pun terpaksa merumahkan beberapa karyawannya. Alhasil, ia pun memutar otak agar bisnisnya terus bertahan.
“Agar bertahan di bisnis batik, kami melakukan diversifikasi produk. Karena selama ini jual batik kelas menengah atas, batik yang ditulis. Saat ini kita produksi ke batik daster atau busana rumahan dengan harga yang murah. Harganya dari ratusan hingga puluhan ribu saja” ujar Bambang.
Selain itu, Bambang pun mulai beralih ke penjualan online. “Sebelum pandemi memang kita offline semua. Dibanding sekarang emang jauh ya penghasilannya. Karena sudah seattle,” jelasnya.
Meski begitu, penjualan online-nya masih belum bisa menyamai omzet offline-nya. “Kita belum bisa nyamain. Kita harus meneronos pasar-pasar baru. Memang ada kasus temen saya di online dia bagus penghasilannya. Karena memang dibutuhkan kegesitan, kelincahan, ke-kreatifan dalam memproduksi, mengemas. Biasanya anak-anak milenial ya yang cepat ini,” terangnya.
Bambang mengakui, bahwa di online ini dirinya masih terus meraba-raba karena ini merupakan sesuatu yang baru baginya. “Terkait inovasi dan mengemas produk itu sendiri memang itu tantangannya. Karena yang bagus omzet online itu mereka punya konten creator yang pintar. Adminnya juga sabar dan telaten kayaknya,” sambungnya.

Bambang Wijanarko Ketum Jaringan Saudagar Muhammadiyah (paling kanan) saat menerima ABEI Award dari MUI pada 29 Maret 2019. Dok. Ist.