Opsi Penyelamatan Flag Carrier Garuda Indonesia
BUMNINC.COM I Bisnis airlines di 2020 memang hancur lebur akibat pandemi Covid-19. IATA mencatat kerugian seluruh airlines di dunia pada 2020 mencapai lebih dari US$100 miliar, dimana pendapatan arlines rata-rata turun sampai dengan 90%. Hampir semua flag carrier di dunia termasuk di ASEAN mengalami kerugian yang cukup dalam termasuk Singapore Airlines di 2020 mengalami kerugian pertama kali dalam sejarah. Thai Airways dan Philippines Airways bahkan sudah mengajukan perlindungan ke pengadilan dengan menggunakan UU kebrangkutan.
Garuda Indonesia (GIAA) termasuk maskapai yang tidak lepas dari kesulitan ini. Laporan keuangan sampai dengan kuartal III/2020, perseroan mengalami rugi bersih sebesar US$1,07 miliar atau Rp16,03 triliun. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III/2019 saat GIAA meraup laba bersih US$122,42 juta. Di sisi lain, total pendapatan Garuda Indonesia pun mencapai US$1,13 miliar per September 2020 atau Rp16,98 triliun, turun dari US$3,54 miliar pada kuartal III/2019.
Penyebab utama penurunan itu adalah anjloknya pendapatan dari penerbangan berjadwal yang menjadi sumber utama pendapatan perseroan. Kontribusi pendapatan dari penerbangan berjadwal pada kuartal III/2020 tercatat sebesar US$917,28 juta, jauh dibawah perolehan kuartal III/2019 sebesar US$2,79 miliar.
Dalam laporan yang dibuat Bloomberg pada Mei 2021 disebutkan bahwa Garuda Indonesia memiliki utang sebesar Rp70 triliun atau US$4,9 miliar. Jumlah utang tersebut bertambah lebih dari Rp1 triliun per bulannya seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada pada pemasok. Saat ini arus kas GIAA berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp41 triliun.
Kondisi pandemic yang masih berlangsung dan masih terbatasnya pergerakan manusia di 2021 masih akan terus mendorong kerugian GIAA. Meskipun upaya terkait perampingan cost structure dan upaya diversifikasi pendapatan telah dilaksanakan, namun diduga kinerja di 2021 masih akan tertekan.